Senin, 16 Juni 2025

Politik Minggu Ini: Dampak Pencabutan IUP Raja Ampat dan Kritik ke Fadli Zon

Coconut Events , Jakarta - Beberapa peristiwa politik dirangkum Tempo dalam sepekan kemarin atau sejak 9 - 15 Juni 2025. Berita tersebut, di antaranya ihwal pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat hingga penyangkalan peristiwa kekerasan seksual di 1998.

Pemerintah Cabut 4 IUP Nikel di Raja Ampat

Setelah kunjungannya ke Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat Papua Barat Daya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan, pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) nikel milik 4 korporasi di Raja Ampat yang sebelumnya menuai hujan kritik.

Empat perusahaan yang dimaksud, ialah PT Anugerah Surya Pratama; PT Mulia Raymond Perkasa; PT Kawei Sejahtera Mining; dan PT Nurham. Menurut Bahlil, keempat perusahaan ini melanggar aturan lingkungan.

"Kawasan perusahaan ini masuk kawasan geopark," kata Bahlil dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa, 10 Juni 2025.

Kendati begitu, satu perusahaan atas nama PT Gag Nikel-anak perusahaan PT Antam Tbk tidak dicabut perizinannya. Bahlil mengatakan, konsesi PT Gag Nikel tidak berada di kawasan geopark Raja Ampat.

Dia menjelaskan, konsesi PT Gag Nikel berjarak sekitar 42 kilometer dari Piaynemo-kawasan geopark Raja Ampat. Ia juga mengklaim, korporasi ini memenuhi syarat analisis dampak lingkungan (amdal).

"Menurut hasil evaluasi tim, itu (PT Gag Nikel) bagus sekali," ujar Ketua Umum Partai Golkar itu.

Prabowo Tak Berencana Reshuffle Kabinet

Isu reshuffle kabinet mencuat usai Presiden Prabowo Subianto menyatakan bakal menyingkirkan para pejabat yang korup, melakukan penyelewengan, dan tidak setia kepada pemerintahan dalam pidatonya di peringatan Hari Lahir Pancasila, 2 Juni lalu.

Pada pidato itu, Prabowo memastikan tak ragu, tak memandang keluarga, suku, dan juga partai apabila figur tersebut tak setia kepada negara. "Yang tidak setia kepada negara, yang melanggar undang-undang akan kami tindak," kata Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Namun, sepuluh hari berselang Prabowo menyatakan tidak akan melakukan perombakan pada kabinetnya. Ia mengklaim para menterinya bekerja dengan baik meski sempat memperoleh kritik publik lantaran pernyataan dan kebijakan yang dianggap kontroversial.

Menurut dia, salah bicara yang sempat dilakukan para menterinya sehingga memicu kritik adalah hal yang lazim terjadi di negara demokrasi. "Sebagai pengguna, saya user , saya merasa menteri-menteri saya bekerja dengan baik," ujarnya.

Penyangkalan Fadli Zon Ihwal Kekerasan Seksual di 1998 Menuai Kecaman

Pelbagai kecaman dilayangkan kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan, cerita tentang pemerkosaan saat kerusuhan di 1998 tidak memiliki bukti cukup untuk ditulis dalam sejarah resmi Indonesia.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam pernyataaan itu. Mereka menegaskan, kekerasan seksual terhadap perempuan di 1998 merupakan fakta yang secara resmi diakui oleh negara.

"Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," kata Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih, Ahad, 15 Juni 2025.

Gabungan Masyarakat dan Mahasiswa Indonesia di Belanda untuk Keadilan Sejarah mendesak Fadli Zon untuk mencabut penyangkalannya terkait kekerasan seksual di 1998 tak memiliki cukup bukti.

Perwakilan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda Syukron Subkhi mengatakan, Fadli harus menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada para korban dan keluarga.

Ia mengingatkan, meski kelam dan pahit, sejarah harus tetap diakui sebagai bagian penting yang membentuk perjalanan bangsa. "Semestinya menjadi pengingat agar kekerasan kelam masa lalu tidak terulang kembali," ujar Syukron, Ahad, kemarin.

Tempo sempat menerbitkan laporan investigasi bertajuk "Pemerkosaan: Cerita dan Fakta" pada 6 Oktober 1998 atau setelah sempat dibreidel rezim Orde Baru pada 1994.

Koordinator Divisi Kekerasan Terhadap Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Ita Fatia Nadia dalam laporan Tempo bertajuk "Jalan Panjang Tragedi Itu: Benarkan Ada Pemerkosaan Mei 1998" menyebut, pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998 serupa dengan aksi pemerkosaan massal di Bosnia, Desember 1992 silam.

Masalahnya, pernyataan Ita menuai silang pendapat. Kepala Kepolisian Republik Indonesia saat itu Letnan Jenderal Roesmanhadi mengatakan, selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada.

Pada laporan Tempo bertajuk "Pemerkosaan Mei 1998: Susah Mencari Saksi Ahli, Apalagi Bukti" inilah disebutkan sulitnya pembuktian kasus pemerkosaan pada kerusuhan 1998. Salah satunya, mereka yang pernah menangani korban tak berani bersuara atas alasan kode etik.

Mereka yang dimaksud, ialah dokter yang pernah menangani korban kekerasan seksual. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pusat Merdias Almatsier mengatakan, meski pernyataan terdapat kasus pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998, cukup sulit bagi dokter untuk menyatakan kesaksian.

Alasannya, kata dia, bukan hanya kode etik, tapi juga undang-undang melarang dokter untuk mengungkapkan kondisi medik pasiennya. "Ini yang harus dijaga sampai mati oleh dokter," kata Almatsier, Oktober 1998.

Eka Yudha Saputra, Hendrik Yaputra, dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini

0 komentar: